Goncangkan Dunia, Penemuan 'Emas Harta Karun Terbaru di Tanah Suci Super Power

 Update Internasional >>

dok// Makkah, Arab Saudi


AJWI ACEH-.  Di lansir dari CNBC Indonesia, Arab Saudi mengumumkan penemuan harta karun baru berupa cadangan emas di Makkah, yang diumumkan oleh perusahaan pertambangan terkemuka, Maaden. Penemuan ini terletak sepanjang 100 km sebelah selatan tambang emas Mansourah Massarah di provinsi Al Khurmah, wilayah Makkah.

Maaden mengklaim bahwa hasil pengeboran menunjukkan deposit emas dengan kadar tinggi, mencapai 10,4 gram per ton emas dan 20,6 gram per ton emas di dua lokasi pengeboran.

Penemuan ini dianggap sebagai keberhasilan dari program eksplorasi ekstensif yang diluncurkan sejak 2022 oleh Maaden. Sampel yang diambil menunjukkan karakteristik geologi dan kimia yang mirip dengan deposit emas Mansourah Massarah.

Seiring dengan hasil positif ini, Maaden berencana untuk meningkatkan aktivitas pengeboran secara agresif pada 2024 di sekitar Mansourah Massarah. Lantas, seberapa besar penemuan tambang emas ini? Bagaimana perbandingannya dengan tambang Indonesia?

Tambang Emas Arab Saudi

Total produksi emas Mansourah Massarah pada 2022 mencapai 11 juta ons. Maaden adalah perusahaan pertambangan terbesar di Arab Saudi dan memiliki peran besar dalam pengelolaan tambang emas di negara tersebut.

Kapasitas produksi tambang emas baru ini diperkirakan mencapai 250.000 ons emas per tahun dan memiliki cadangan 7 juta ons. Artinya, tambang baru ini mampu memberikan tambahan sekitar 2,27% dari total produksi saat ini.

Namun, data menunjukkan Arab Saudi belum termasuk dalam 20 negara produsen emas terbesar di dunia. Produksi emas China merupakan yang terbesar mencapai 330 ton pada dan Indonesia berada di urutan ke-12 dengan produksi 70 ton emas. Berikut data lengkap produksi emas terbesar dunia. 

PRODUSEN EMAS TERBESAR (TON)


Meski demikian, Arab Saudi tengah bersiap untuk mengalami "gold rush" dalam sektor pertambangan pada 2024, seiring dengan rencana kerajaan untuk memanfaatkan permintaan yang meningkat terhadap mineral kritis untuk mendukung transisi hijau.

Dalam upaya untuk diversifikasi ekonominya yang selama ini sangat bergantung pada sektor minyak, Arab Saudi hampir menggandakan estimasi mineral belum dimanfaatkan menjadi US$2,5 triliun dan mengumumkan insentif baru bagi para penambang, mengutip Al-Monitor.

Pada Rabu (10/1/2024), kerajaan tersebut menyatakan rencananya untuk memberikan lebih dari 30 lisensi eksplorasi pertambangan kepada investor internasional tahun ini. Estimasi sumber daya mineral yang belum dimanfaatkan tersebut mencakup emas, tembaga, fosfat, dan unsur logam tanah jarang.

Sebagian besar akan sangat dibutuhkan dalam berbagai bentuk energi terbarukan dan bahan bebas karbon. Permintaan global untuk tembaga, misalnya, diperkirakan akan hampir dua kali lipat menjadi 49 juta ton metrik pada 2035 untuk menuju transisi hijau.

Kontrak pertambangan ini akan memberikan sumber modal baru bagi Arab Saudi, yang sebelumnya mengandalkan kekayaan dari sektor minyak. Hal ini sejalan dengan Agenda Visi 2030, di mana Arab Saudi berkomitmen untuk mendiversifikasi ekonominya dari sektor hidrokarbon.

Pemerintah Arab berencana untuk memperkuat kontribusi sektor pertambangan terhadap ekonomi dengan empat kali lipat hingga 2030. Saat ini, perlombaan untuk mendapatkan "critical mineral" yang diperlukan untuk mendukung transisi energi sedang berlangsung antara Amerika Serikat, Tiongkok, dan Rusia.

Arab Saudi, yang dikenal sebagai produsen minyak terkemuka, menjadi pusat perhatian dalam pertarungan ini. Konferensi pertambangan yang diadakan di Riyadh pekan ini menarik perhatian pejabat pemerintah dan eksekutif pertambangan terkemuka dari seluruh dunia.

Arab Saudi berusaha memposisikan diri sebagai pusat wilayah pertambangan super yang membentang dari Asia Tengah hingga Timur Tengah dan Afrika, yang diperkirakan memiliki setidaknya sepertiga dari sumber daya alam dunia, termasuk mineral kritis.

Peserta konferensi bukan hanya berfokus pada kesepakatan keuangan, tetapi juga berusaha memperkuat hubungan diplomatik dengan kerajaan tersebut. Riyadh, dengan kebijakan luar negeri yang netral, berhasil membangun hubungan lebih dekat dengan Washington, Moskow, dan Beijing dalam beberapa tahun terakhir.


Mengutip The Wall Street Journal, pada konferensi tersebut, Arab Saudi memperkirakan bahwa kesepakatan senilai sekitar US$20 miliar akan tercapai. Amerika Serikat dan Rusia keduanya menandatangani nota kesepahaman terkait mineral dengan Arab Saudi.

Manara Minerals, perusahaan patungan antara dana kekayaan berdaulat Arab Saudi dan perusahaan pertambangan milik negara, telah menarik perhatian industri pertambangan dengan rencananya untuk mengakuisisi 10% saham unit logam dasar Vale, perusahaan pertambangan asal Brasil, senilai US$26 miliar.

Manara berencana untuk menginvestasikan lebih dari US$15 miliar dalam aset pertambangan di seluruh dunia dalam beberapa tahun ke depan. Arab Saudi juga sedang dalam pembicaraan untuk menginvestasikan dana dalam proyek Reko Diq di Pakistan, yang akan menjadi salah satu tambang tembaga terbesar di dunia.

Pada konferensi ini, Arab Saudi menyampaikan revisi estimasi kekayaan mineral yang belum dimanfaatkan menjadi US$2,5 triliun, naik dari US$1,3 triliun pada 2016. Peningkatan ini seiring dengan pengajuan izin pertambangan dari perusahaan internasional yang telah meningkat dua kali lipat sejak konferensi tahun lalu.

Kehadiran pemerintah Amerika Serikat di konferensi dianggap sebagai tanda perbaikan hubungan antara kedua negara. Amerika Serikat dan Arab Saudi menandatangani nota kesepahaman yang melibatkan pembiayaan ekspor AS ke Arab Saudi serta kolaborasi dalam proyek mineral kritis.

Dengan langkah-langkah ambisius ini, Arab Saudi berusaha tidak hanya untuk memanfaatkan kekayaan alamnya tetapi juga memperkuat peran ekonominya dalam skala global, menjadi pusat pertambangan yang sangat diantisipasi di tengah pesatnya transisi ke energi hijau.

Perbandingan Kekayaan Alam Arab Saudi dan Indonesia

Arab Saudi dikenal sebagai produsen dan eksportir minyak terbesar di dunia, memiliki sekitar 267,9 miliar barel cadangan minyak. Dalam beberapa dekade terakhir, Arab Saudi juga telah memperluas investasinya ke sektor mineral, termasuk penemuan baru berupa cadangan emas.

Sementara itu, Indonesia memiliki kekayaan alam yang beragam, termasuk tambang minyak dan gas bumi. Kedua negara ini dikenal dengan eksportir komoditas terbesar dunia. Perbedaannya terletak pada komoditasnya, Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar, sedangkan Arab eksportir emas terbesar.


Melansir data Administrasi Informasi Energi (IEA), Indonesia merupakan eksportir batu bara terbesar dengan ekspor pada 2020 mencapai 405 juta ton. Eksportir terbesar selanjutnya ialah Australia dan Russia yang masing-masing mengekspor 390 dan 212 juta ton.

Mengutip data EIA, Arab  Saudi merupakan produsen minyak terbesar kedua dunia dengan produksi 10,6 juta barel per hari. Sedangkan, Indonesia hanya mampu memproduksi minyak mentah sebesar 0,61 juta barel per hari.

Di sisi lain, Arab Saudi merupakan salah satu eksportir minyak terbesar dunia. Ekspor minyak Arab Saudi tercatat mencapai 7,36 juta barel per hari pada 2022. Minyak Arab Saudi masih merupakan komoditas andalan sebagai eksportir terbesar.


by. Citizen Jurnalis

Post a Comment

0 Comments